Contoh Tradisi Agama Islam di Indonesia/Nusantara
1. DidongSebagai salah satu tradisi kebanggaan masyarakat Gayo, Aceh,
didong dipentaskan oleh dua kelompok yang terdiri dari banyak
orang, dengan bantal (kampas) yang ditepuk-tepuk sebagai alat
musiknya. Dalam bahasa Gayo, kelompok ini biasa disebut ulu
atau kelop. Sementara para senimannya dipanggil dengan sebutan
ceh.
Untuk bisa menjadi seorang ceh
dibutuhkan beberapa syarat, seperti
memiliki suara yang merdu, bisa menciptakan
lagu sendiri dan harus mampu
melahirkan puisi-puisi spontan dalam
suatu pertandingan. Seorang ceh harus
berperan memimpin kelompoknya
untuk mewujudkan disiplin gerak yang
serasi dan indah, serta semangat bertanding
yang tetap bergelora.
Sebagai refleksi kuat atas budaya
masyarakat Gayo, didong kerap kali
dianggap sebagai ”kesenian rakyat” atau ”nyanyian rakyat”
(folksong). Dengan kata lain, ia merupakan kesenian adat. Padahal,
bila diteliti lebih jauh, didong juga bisa dikatakan sebagai salah
satu kesenian Islam, bukan saja milik Gayo di Aceh, tapi juga
masyarakat Indonesia. Dari sisi struktur (cara berpakaian, gaya
bertutur, dan sarana yang dipakai para seniman didong) maupun
infrastruktur (makna di balik syair-syair didong), tradisi lisan ini
mengisyaratkan beberapa simbol Islam.
Salah satu simbol Islam di dalam didong adalah para senimannya
acapkali mengenakan kopyah atau penutup kepala sejenis
songkek. Dalam tradisi Islam Indonesia khususnya, kopyah
seringkali dijadikan sebagai simbol Islam. Karena itu, ketika ada
seorang mengenakan penutup kepala jenis ini seringkali disebut
seorang Muslim.
Simbol Islam lainnya di dalam didong adalah para senimannya
mengenakan pakaian yang sangat tertutup dan sopan. Selain itu,
syair-syair yang terdapat di dalam didong mengisyaratkan sisi
spiritual dan kemanusiaan yang begitu kuat buat para pendengar.
Syair-syair didong dikenal tidak nakal atau pornografis, sama
halnya syair-syair yang terdapat dalam musik kasidah atau rebana.
Bahkan, pada titik yang lebih jauh, antara musik rebana
dengan musik didong sebenarnya tidak jauh berbeda. Keduanya
menggunakan alat musik yang ditabuh secara beramai-ramai.
Bedanya, didong menampilkan dua kelompok untuk diadutanding,
sementara semi rebana cukup satu kelompok. Didong menggunakan
bahasa Gayo sebagai ekspresi komunikasi, sementara
rebana bebas nilai; tergantung karsa penciptanya. Syair didong
sungguh puitis dan rebana menggunakan bahasa verbal.
Di dalam Al-Qur’an hanya disebutkan bahwa Allah swt. sangat
menyukai kepada hal-hal yang indah, dan musik merupakan salah
dari ekspresi keindahan.
Salah satu fungsi didong adalah sebagai kritik sosial atas
ketimpangan yang terjadi di masyarakat.
2. Sekaten
Tradisi Sekaten dilaksanakan setiap tahun di Keraton Surakarta
dan Yogyakarta. Sekaten dilaksanakan untuk mengenang jasa-jasa
perjuangan Wali Songo yang telah berhasil menyebarkan tuntunan
Nabi Muhammad saw. Untuk kepentingan dakwah, oleh para wali
di Demak, kelahiran Nabi Muhammad saw. tersebut diperingati
selama seminggu, dari tanggal 5-15 Rabiul Awwal. Peringatan yang
lazim dinamai Maulud Nabi itu, oleh para wali disebut Sekaten,
yang berasal dari kata Syahadatain (dua kalimat syahadad).
Sekaten diadakan sebagai tuntunan bagi manusia, yang perlu
terus-menerus didengungkan ke pelosok masyarakat sampai kapan
pun juga. Masyarakat yang datang ke Sekaten ingin mendapatkan
berkah dari tuntunan yang telah terbukti membawa manusia hidup
dalam kebahagiaan lahir maupun batin.
Di Keraton Surakarta tradisi
menabuh gamelan itu masih tetap
dilaksanakan di Bangsal Pagongan,
Masjid Agung Keraton Surakarta. Yang
harus disimak dari Gendhing-gendhing
Gamelan Kyai Guntur Madu dan Kyai
Guntur Sari adalah makna yang ada di
dalamnya. Setidaknya ada 2 (dua)
kebenaran yang hendak disampaikan.
Pertama adalah Syahadat Tauhid, yakni
pada adanya Allah swt., dilambangkan
dalam gendhing ‘Rembu’, berasal dari
kata Rabbuna yang artinya Allah Tuhanku yang dikumandangkan
dari gamelan Kyai Guntur Madu.
Perkara kedua adalah Syahadat Rasul dari gamelan Kyai
Guntur Sari, yakni berkumandangnya gendhing ‘Rungkung’,
berasal dari kata Roukhun yang artinya jiwa besar atau jiwa yang
agung. Semua tidak hanya sebagai tontonan atau hiburan belaka.
Perkembangan jaman dan semangat baru yang hendak
diemban oleh karaton Surakarta menuntut kelegawaan dan
kejambaran pikiran untuk melaksanakannya. Sebagai salah satu
dari keragaman konstelasi tradisi karaton, Sekaten-pun harus Nut
jaman Kelakone. Artinya, baik sebagai tuntunan maupun sebagai
tontonan, keduanya harus tetap berdasarkan pada tujuan semula
diadakannya perayaannya Sekaten. Jangan sampai kepercayaan
masyarakat yang telah mengakar dikaburkan oleh penonjolan
unsur tontonannya.
3. Pesta Tabuik
Di Sumatera terdapat suatu
pertunjukan prosesi benda ritual yang
dinamakan tabuik. Upacara ini diadakan
untuk memperingati gugurnya
pahlawan Islam yang bernama Husein
bin Ali (cucu Nabi Muhammad saw.)
Husein gugur pada saat mempertahankan
haknya sebagai pewaris tahta
khalifah Syiah yang diangkat oleh Raja
Yazid dari Bani Umayah.
4. Rebo Wekasan
Di Yogyakarta, tepatnya di desa Wonokromo, Plered, Bantul,
juga mengklaim menyelenggarakan rebo wekasan. Yakni
digelarnya sebuah upacara pada Selasa malam atau malam Rabu.
Konon, hari Rabu terakhir dalam bulan Safar itu merupakan
hari pertemuan antara Sri Sultan Hamengku Buwono I dengan
Kyai Faqih Usman. Berdasarkan hari itulah kemudian masyarakat
menamakannya dengan upacara rebo wekasan atau rebo
pungkasan. Ketika itu, upacara dipusatkan di depan masjid. Namun
seminggu sebelumnya, terlebih dulu diselenggarakan pasar malam.
Upacara rebo wekasan ini sendiri
dimaksudkan sebagai ungkapan rasa
syukur kepada Tuhan, serta ungkapan
terima kasih pada kyai pertama di
Wonokromo -Kyai Faqih Usman atau
Kyai Welit- yang bisa menyembuhkan
segala penyakit dan dapat memberikan
berkah untuk kesuksesan usaha atau
untuk tujuan-tujuan tertentu.
Selain itu, ada yang menyelenggarakan
rebo wekasan dengan jalanjalan
ke pantai untuk mandi dengan
maksud untuk menyucikan diri dari segala kesalahan dan dosa.
Namun ada pula yang merayakannya dengan riungan (kumpul
bersama) di pagi hari di sebuah masjid. Riungan itu dipimpin oleh
imam masjid dan diiringi dengan tahlil dan tahmid serta diakhiri
dengan doa tolak bala. Setelah itu, barulah jamuan dibagikan
kepada peserta riungan untuk dimakan bersama-sama.
Masih dengan maksud menolak bala’, di sebagian tempat ada
yang menyelenggarakan rebo wekasan dengan salat, baik
dilakukan secara sendirian maupun berjamaah. Karena itulah salat
tersebut dinamakan salat rebo wekasan. Salat ini biasanya
dikerjakan pada Rabu pagi akhir bulan Safar setelah salat Isyraq,
kira-kira mulai masuk waktu Dhuha.
Terkait dengan salat rebo wekasan ini, Ahmad Buwaethy
dalam Rebo Wekasan (lihat www.bimasislam.depag.go.id entri rebo
wekasan) menyatakan bahwa tradisi ini bisa jadi bersumber dari
sebuah buku berjudul ”Kanzun Najah” karangan Syekh Abdul
Hamid Kudus. Di dalamnya diterangkan bahwa sebagian ulama
ahli mukasyafah (sebutan ulama sufi tingkat tinggi) sering
melaksanakan salat pada setiap Rabu di akhir bulan Safar. Karena
pada hari itu diturunkan 360.000 malapetaka dan 20.000 macam
bencana ke bumi.
5. Burdah Pegayaman
Lantunan burdah tentu tak asing lagi bagi kita, terutama saat
bulan Maulid tiba. Keberadaannya telah menjadi tradisi yang turuntemurun
di berbagai pelosok negeri. Malahan lantunan puji-pujian
kepada Nabi tersebut tidak sedikit yang diiringi dengan tabuhan
alat musik rebana (terbuat dari kayu bundar dan kulit lembu). Di
Indonesia, kesenian tradisional Islam yang memadukan unsur seni
tabuh rebana dengan syair pujian kepada Nabi Muhammad saw.
ini lumrah disebut dengan burdah.
Biasanya burdah seringkali terdengar
dalam berbagai momentum
penting, seperti saat menyambut
kelahiran bayi, khitanan, atau hajatan
lain. Akan tetapi yang paling sering pada
saat peringatan Maulid Nabi. Syair-syair
yang ditulis oleh Imam Busyiri (1213 -
1297 M), penyair besar dan ulama sufi
kelahiran Mesir, ini memang indah dan
seringkali didendangkan oleh umat Islam
di seluruh dunia. Bahkan di Bali yang
mayoritas penduduknya beragama
Hindu, seni burdah juga dapat dijumpai
di berbagai daerah, seperti di Pegayaman (Buleleng), Loloan
(Jembrana), dan Kepaon (Denpasar).
Sebenarnya, judul asli syair burdah adalah al-Kawakib ad-
Durriyah, terdiri 160 bait. Namun, istilah burdah lebih akrab karena
berhubungan dengan pengalaman spiritual penulisnya. Suatu
ketika, Imam Busyiri bermimpi bertemu Nabi Muhammad saw.
dan diberi mantel (burdah), seperti yang diberikan Rasulullah saw.
kepada Ka’ab bin Zuhair. Ia terkejut atas mimpi tersebut, hingga
terperanjat dan meloncar dari tempat tidur. Anehnya, sakit lumpuh
yang dideritanya berangsur sembuh. Ia terharu atas peristiwa itu
dan secara spontan melontarkan kalimat-kalimat indah berupa
pujian terhadap Nabi Muhammad saw. sehingga jadilah syair
burdah tersebut.
Yang lebih menggembirakan, rupanya karya Imam Busyiri
ini mengilhami lahirnya syair-syair lain, seperti Kasyfu Ghummah
karya Al-Barudi, Nahjul Burdah karya Ahmad Syauqi, hingga
al-Maulid an-Nabawi (al-Barzanji) karya Ja’far al-Barzanji,
yang juga sangat populer dan sering dilantunkan umat Islam.
Dalam perkembangannya kemudian, ternyata tidak hanya
syair yang diperdengarkan dan bentuk pertunjukannya sajat yang
disebut burdah, bahkan alat musiknya (rebana) pun disebut
dengan burdah. Bila orang menyebut burdah, maka sudah identik
dengan musik pengiringnya yakni rebana/terbang. Karena indah
dan dalam maknanya, syair tersebut bisa dimainkan dalam
berbagai gaya dan versi sesuai tradisi yang berkembang. Sehingga
masing-masing komunitas muslim yang memiliki seni burdah
punya ciri dan gaya burdah yang berbeda.
Burdah Pegayaman misalnya, berbeda dengan burdah Loloan
maupun burdah Kepaon, walaupun sama-sama berada di wilayah
Bali. Burdah Pegayaman nampak lebih Bali. Kenapa demikian?
Karena kesenian Islam tersebut juga mengakomodasi budaya lokal
Bali, bukan semata membacakan pujian kepada Rasulullah saw.
dengan diiringi gendang rebana, tetapi juga mengeksplorasi tradisi
yang berlaku di Bali.
Hal ini bisa kita lihat dan simak dari cara berpakaian, logat
syair serta irama lagu para penabuh dan pelantun burdah
Pegayaman. Mereka terlihat khas dengan pakaian adat Bali,
lantunan syairnya pun berlogat Bali, demikian halnya irama
lagunya bernuansa Bali. Bahkan tidak cukup di situ, burdah
Pegayaman juga dilengkapi dengan tarian pencak silat kuno yang
bergaya Bali, sebuah kesenian tradisional religius-sufistik yang unik,
menarik, dan sakral. Praktis, budaya Bali memberikan warna
tersendiri bagi burdah Pegayaman.Burdah Pegayaman dan keberadaan kaum Muslim
Pegayaman memang unik. Masyarakat muslim di pedalaman Bali
Utara itu juga menjalankan syariat seperti kebanyakan kaum
muslim. Hanya saja, muslim Pegayaman punya warna dan pola
hidup yang khas Bali. Kegiatan rituan keagamaan seperti pengajian
dan khutbah Jumat, misalnya disampaikan dengan bahasa Bali
halus. Nama-nama penduduk Pegagayaman juga menggunakan
perpaduan antara nama-nama yang bernuansa Islam dan Bali
seperti Wayan Syahdan, Wayan Syamsul Bahri, Ketut Siti
Aisyah dan sebagainya.
Dengan demikian, tidak mengherankan kiranya jika budaya
Islam pun telah merasuk ke dalam masyarakat Bali muslim
Pegayaman. Sebaliknya, budaya Bali pun telah menjadi bagian
penting dalam budaya Islam Pegayaman. Dan kesenian burdah
merupakan salah satu contoh dari kebudayaan religius yang
tumbuh dan hidup di Pegayaman Bali.
Contoh Tradisi Islam di Indonesia/Nusantara
9out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.
Terimakasih telah Berkunjung dan Semoga Bermanfaat..
Tetap Update dan Dukung Saya Berbagi dengan
⇧⇧⇧ klik Tombol LIKE DI ATAS ⇧⇧⇧
☺☺☺ TERIMAKASIH ☺☺☺
BACA JUGA !!!!
No comments:
Post a Comment