Sejarah Pemberontakan PRRI dan Permesta





Sejarah Pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indone-
sia (PRRI) dan Pemberontakan Piagam Perjuangan Rakyat
Semesta (Permesta)
Pertentangan antara Pemerintah Pusat dan beberapa Daerah yang menjadi
pangkal permasalahan adalah masalah otonomi dan perimbangan keuangan antara
Pusat dan Daerah. Pertentangan ini semakin meruncing dan terbentuklah Dewan
Banteng, Dewan Gajah, Dewan Manguni, dan pengambilalihan kekuasaan
pemerintah setempat akhirnya pecah menjadi perang terbuka pada bulan Februari
1958, yang dikenal sebagai pemberontakan PRRI-Permesta.
Pada tanggal 10 Februari 1958 Letnan Kolonel Ahmad Husein mengultimatum
kepada pemerintah pusat agar dalam waktu 5 x 24 jam seluruh anggota Kabinet
Juanda mengundurkan diri. Pemerintah mengambil sikap tegas dalam menghadapi
ultimatum tersebut. Perwira-perwira yang duduk di dewan-dewan itu dipecat.
Mereka itu adalah Letnan Kolonel Ahmad Husein (Ketua Dewan Banteng dari Padang,
Sumatera Barat) Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Simbolon, dan Kolonel Dahlan
Djambek. Pada tanggal 15 Februari 1958
pemberontakan mencapai puncaknya
ketika Achmad Husein memproklamirkan
berdirinya “Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia”
(PRRI) berikut pembentukan kabinetnya
dan Syafruddin Prawira negara
sebagai Perdana Menteri. Berdirinya
PRRI ini selanjutnya mendapat
sambutan di Indonesia bagian
Timur yang merupakan gerakan separatis.
Pada tanggal 1 Maret 1957 Letnan kolonel H.N. Ventje Sumual, panglima TT
VII Timur mengikrarkan Gerakan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Gerakan
ini menuntut dilaksanakannya Repelita dan pembagian pendapatan daerah secara
adil, yakni daerah surplus mendapat 70 % dari hasil ekspor. Tokoh-tokoh lain yang
mendukung Permesta ini antara lain Mayor Gerungan, Mayor Runturambi, dan
Letnan Kolonel Saleh Lahade. Gerakan Permesta ini dapat menguasai daerah
Sumatera Utara dan Sumatera Tengah. Gerakan ini juga mendapat bantuan dari
seorang penerbang sewaan berkebangsaan Amerika bernama Allan Lawrence Pope.
Untuk menumpas PRRI di Sumatera dan Permesta di Indonesia bagian timur
ini pemerintah mengambil sikap tegas yakni dengan kekuatan senjata. Berbagai
operasi yang dilaksanakan antara lain:
1) Operasi Tegas di bawah pimpinan Kolonel Kaharuddin Nasution untuk
menguasai daerah Riau,
2) Operasi 17 Agustus di bawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani untuk
mengamankan daerah Sumatera Barat,
3) Operasi Sapta Marga di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Djatikusumo untuk
mengamankan daerah Sumatera Utara, dan
4) Operasi Sadar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Dr. Ibnu Sutowo untuk
mengamankan daerah Sumatera Selatan.
 Dengan berbagai operasi di atas akhirnya para pimpinan PRRI menyerah. Pada
tanggal 29 Mei 1961 secara resmi Achmad Husein melaporkan diri beserta anak
buahnya. Sedangkan untuk menumpas pemberontakan Permesta di Indonesia bagian
Timur dilancarkan operasi gabungan, yakni Operasi Merdeka di bawah pimpinan
Kolonel Rukminto Hendraningrat.  Pada tanggal 18 Mei 1958 pesawat Allan Lawrence
Pope ditembak jatuh di kota Ambon dan pada bulan Agustus 1958  gerakan Permesta
dapat ditumpas. Adapun sisa-sisa gerakan ini masih ada sampai tahun 1961 namun
atas seruan pemerintah untuk kembali ke NKRI mereka berangsur-angsur memenuhi
himbauan pemerintah Indonesia.
Berbagai pergolakan di daerah tersebut di atas sebagai dampak dari hubungan
pemerintah pusat dan daerah yang kurang harmonis. Dengan demikian kehidupan
politik nasional dan daerah sampai awal tahun1960-an tidak stabil

No comments:

Post a Comment