sejarah perlawanan kaum paderi






Perlawanan Kaum Padri (1821 – 1837)

a. Latar Belakang Terjadinya Perlawanan
Kaum Adat di Minangkabau mempunyai kebiasaan yang kurang baik yaitu
minum-minuman keras, berjudi, dan
menyabung ayam. Kebiasaan itu
dipandang oleh kaum Padri sangat
bertentangan dengan agama Islam.
Kaum Padri berusaha menghentikan
kebiasaan itu, tetapi Kaum Adat
menolaknya maka kemudian terjadilah
pertentangan antara kedua golongan
tersebut.
Gerakan Padri di Sumatera Barat,
bermula dengan kedatangan tiga orang
haji asal Minangkabau dari Mekkah
tahun 1803. Ketiga haji tersebut adalah
Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji
Piabang. Ketiga haji itu membawa
perubahan baru dalam masyarakat
Minangkabau dan sekaligus ingin
menghentikan kebiasaan yang
dianggapnya menyimpang dari ajaran
agama Islam.
Tujuan gerakan Padri adalah untuk membersihkan kehidupan agama Islam dari
pengaruh-pengaruh kebudayaan dan adat istiadat setempat yang dianggap menyalahi
ajaran agama Islam. Diberantasnya perjudian, adu ayam, pesta-pesta dengan hiburan
yang dianggap merusak kehidupan beragama. Gerakan ini kemudian terkenal dengan
nama “Gerakan Wahabi”. Kaum adat tidak tinggal diam, tetapi mengadakan perlawanan
yang dipimpin oleh Datuk Sati, maka terjadilah perang saudara.
Perang saudara mulai meletus di Kota Lawas, kemudian menjalar ke kota-kota
lain, seperti Bonjol, Tanah Datar, dan Alahan Panjang. Tokoh-tokoh kaum Padri yang
terkenal adalah Tuanku Imam Bonjol, Tuanku nan Cerdik, Tuanku Pasaman, dan
Tuanku Hitam. Kaum adat mulai terdesak. Ketika Belanda menerima penyerahan
kembali daerah Sumatera Barat dari Inggris, kaum adat meminta bantuan kepada
Belanda menghadapi kaum Padri. Oleh karena itu, kaum Padri juga memusuhi Belanda.
b. Jalannya Perlawanan
Musuh kaum Padri selain kaum adat adalah Belanda. Perlawanan dimulai tahun
1821 dengan serbuan ke berbagai pos Belanda dan pencegatan terhadap patroli
Belanda. Pasukan Padri bersenjatakan senjata tradisional, sedangkan pihak musuh
menggunakan meriam dan jenis senjata lainnya. Pertempuran berlangsung seru
sehingga banyak menimbulkan korban kedua belah pihak. Pasukan Belanda
mendirikan benteng pertahanan di Batusangkar diberi nama Fort Van Der Capellen.
Benteng pertahanan kaum Padri dibangun di berbagai tempat, antara lain Agam
dan Bonjol yang diperkuat dengan pasukan yang banyak jumlahnya.
Tanggal 22 Januari 1824 diadakan perjanjian Mosang
dengan kaum Padri, namun kemudian dilanggar oleh
Belanda. Pada April 1824 Raaf meninggal digantikan oleh
Kolonel De Stuers. Dia membangun Benteng Fort De Kock,
di Bukit Tinggi. Tanggal 15 November 1825 diadakan
perjanjian Padang. Kaum Padri diwakili oleh Tuanku Nan
Renceh dan Tuanku Pasaman. Seorang Arab, Said
Salimuljafrid bertindak sebagai perantara. Pada hakikatnya
berulang-ulang Belanda mengadakan perjanjian itu
dilatarbelakangi kekuatannya yang tidak mampu
menghadapi serangan kaum Padri, di samping itu bantuan
dari Jawa tidak dapat diharapkan, karena di Jawa sedang
pecah Perang Diponegoro.
Tahun 1829 daerah kekuasaan kaum Padri telah
meluas sampai ke Batak Mandailing, Tapanuli. Di Natal,
Tapanuli Baginda Marah Husein minta bantuan kepada
kaum Padri mengusir Gubernur Belanda di sana. Maka
setelah selesai perang Diponegoro, Natal di bawah
pimpinan Tuanku Nan Cerdik dapat mempertahankan serangan Belanda di sana.
Tahun 1829 De Stuers digantikan oleh Letnan Kolonel Elout, yang datang di Padang
Maret 1931. Dengan bantuan Mayor Michiels, Natal dapat direbut, sehingga Tuanku
Nan Cerdik menyingkir ke Bonjol. Sejak itu kampung demi kampung dapat direbut
Belanda. Tahun 1932 datang bantuan dari Jawa, di bawah Sentot Prawirodirjo. Dengan
cepat Lintau, Bukit, Komang, Bonjol, dan hampir seluruh daerah Agam dapat dikuasai
oleh Belanda. Melihat kenyataan ini baik kaum Adat maupun kaum Padri menyadari
arti pentingnya pertahanan. Maka bersatulah mereka bersama-sama menghadapi
penjajah Belanda.
c. Akhir Perlawanan
Setelah daerah-daerah sekitar Bonjol dapat dikuasai oleh Belanda, serangan
ditujukan langsung ke benteng Bonjol. Membaca situasi yang gawat ini, Tuanku
Imam Bonjol menyatakan bersedia untuk berdamai. Belanda mengharapkan, bahwa
perdamaian ini disertai dengan penyerahan. Tetapi Imam Bonjol berpendirian lain.
Perundingan perdamaian ini adalah siasat mengulur waktu, agar dapat mengatur
pertahanan lebih baik, yaitu membuat lubang yang menghubungkan pertahanan
dalam benteng dengan luar benteng, di samping untuk mengetahui kekuatan musuh
di luar benteng. Kegagalan perundingan ini menyebabkan berkobarnya kembali
pertempuran pada tanggal 12 Agustus 1837.
Belanda memerlukan waktu dua bulan untuk dapat menduduki benteng Bonjol,
yang didahului dengan pertempuran yang sengit. Meriam-meriam Benteng Bonjol
tidak banyak menolong, karena musuh berada dalam jarak dekat. Perkelahian satu
lawan satu tidak dapat dihindarkan lagi. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak.
Pasukan Padri terdesak dan benteng Bonjol dapat dimasuki oleh pasukan Belanda
menyebabkan Tuanku Imam Bonjol beserta sisa pasukannya menyerah pada tanggal
25 Oktober 1937. Walaupun Tuanku Imam Bonjol telah menyerah tidak berarti
perlawanan kaum Padri telah dapat dipadamkan. Perlawanan masih terus
berlangsung dipimpin oleh Tuanku Tambusi pada tahun 1838. Setelah itu berakhirlah
perang Padri dan daerah Minangkabau dikuasai oleh Belanda.
sejarah perlawanan kaum paderi 9out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.

Terimakasih telah Berkunjung dan Semoga Bermanfaat..


Tetap Update dan Dukung Saya Berbagi dengan
⇧⇧⇧ klik Tombol LIKE DI ATAS ⇧⇧⇧
☺☺☺ TERIMAKASIH ☺☺☺

BACA JUGA !!!!

No comments:

Post a Comment