Kebijakan-Kebijakan Pemerintah Kolonial Terlengkap






Kedatangan bangsa Barat ke Indonesia, pada awalnya untuk mencari sumber
rempah-rempah, kemudian dibeli untuk dijual di pasar Eropa dengan keuntungan
yang tinggi. Namun tujuan mereka berkembang, mereka tidak hanya mencari
sumber rempah-rempah, tetapi juga ingin melaksanakan monopoli perdagangan,
bahkan ingin menanamkan kekuasaannya di Indonesia. Maka terbentuklah
kekuasaan kolonial di Indonesia.
Kolonial berasal dari nama seorang petani Romawi yang bernama Colonus. Ia
pergi jauh untuk mencari tanah yang belum dikerjakan. Lama-lama makin banyak
orang yang mengikutinya dan mereka bersama-sama menetap di sebuah tempat
yang disebut Colonia.
Dalam lembar sejarah banyak kita temukan rombongan orang yang
meninggalkan tanah airnya untuk mencari daerah baru, misalnya dari Inggris ke
Amerika utara, dari Cina ke Asia Tenggara, dari kawasan Nusantara ke Madagaskar,
dan sebagainya

Pada abad ke-16 dan 17, berturut-turut kekuasaan kolonial Barat telah datang ke
Indonesia dengan tujuan mencari laba sebesar-besarnya. Untuk itu pemerintah kolonial
telah merusak ekonomi rakyat. Di mana-mana mereka memaksakan monopoli di
bidang perdagangan. Mereka juga menjalankan kebijakan-kebijakan ekonomi yang
pada umumnya sangat merugikan rakyat Indonesia, sehingga menimbulkan
penderitaan dan kesengsaraan yang luar biasa. Kebijakan-kebijakan itu, antara lain
sebagai berikut.

1. Sistem Penyerahan Wajib oleh VOC
Dengan hak-hak istimewa yang dimiliki oleh VOC, maka kongsi dagang yang
sering disebut Kompeni ini berkembang dengan cepat. Kedudukan Portugis mulai
terdesak, dan bendera Kompeni mulai berkibar.
Kompeni mengikat raja-raja kita dengan berbagai perjanjian yang merugikan.
Makin lama Kompeni makin berubah menjadi kekuatan yang tidak hanya berdagang,
tetapi ikut mengendalikan pemerintahan di Indonesia. Kompeni mempunyai pegawai
dan anggota tentara yang semakin banyak. Daerah kekuasaannya pun semakin luas.
Kompeni membutuhkan biaya besar untuk memelihara pegawai dan tentaranya.
Biaya itu diambil dari penduduk. Pada zaman Kompeni penduduk kerajaan-kerajaan
diharuskan menyerahkan hasil bumi seperti beras, lada, kopi, rempah-rempah, kayu
jati dan lain sebagainya kepada VOC. Hasil bumi itu harus dikumpulkan pada kepala
desa dan untuk setiap desa ditetapkan jatah tertentu.
Kepala desa menyerahkannya kepada bupati untuk disampaikan kepada Kompeni.
Tentu saja Kompeni tidak mendapatkannya dengan gratis, tetapi juga memberi imbalan
berupa harga hasil bumi itu. Tetapi harga itu ditetapkan oleh Kompeni, dan tidak ada
tawar-menawar terlebih dahulu. Lagi pula, uang harga pembelian itu tidak untuk
sampai ke tangan petani di desa-desa. Biasanya uang itu sudah dipotong oleh pegawaipegawai
VOC maupun oleh kepala-kepala daerah pribumi.

2. Sistem Kerja Wajib (Kerja Rodi)
Setelah lebih kurang 200 tahun berkuasa, akhirnya
VOC (Kompeni) mengalami kemunduran dan kebangkrutan.
Hal ini disebabkan banyak biaya perang yang dikeluarkan
untuk mengatasi perlawanan penduduk, terjadinya
korupsi di antara pegawai-pegawainya, dan timbulnya
persaingan dengan kongsi-kongsi dagang yang lain. Faktorfaktor
itulah, akhirnya pada tanggal 31 Desember 1799,
secara resmi VOC dibubarkan. Kekuasaan VOC kemudian
diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda. Hal ini secara
tidak langsung memengaruhi koloni Belanda di Indonesia.
Perubahan politik yang terjadi di Belanda, merupakan
pengaruh revolusi yang dikendalikan oleh Prancis. Dalam
revolusi tersebut, kekuasaan raja Willem V runtuh, dan
berdirilah Republik Bataaf. Tidak lama kemudian Republik

Bataaf juga dibubarkan dan Belanda dijadikan kerajaan di bawah pengaruh Prancis,
sebagai rajanya adalah Louis Napoleon. Louis Napoleon kemudian mengirim Herman
Willem Daendels sebagai gubernur jenderal dengan tugas utama mempertahankan
pulau Jawa dari ancaman Inggris. Juga diberi tugas mengatur pemerintahan di
Indonesia.
Untuk melaksanakan tugas tersebut, Daendels mengambil beberapa langkah,
antara lain sebagai berikut.
- Menarik orang-orang Indonesia untuk dijadikan tentara.
- Membangun pabrik senjata di Semarang dan Surabaya.
- Membangun pangkalan armada di Anyer dan Ujung Kulon.
- Membangun benteng-benteng.
- Membangun jalan raya dari Anyer sampai Panarukan, yang panjangnya + 1.000 km.

Untuk mewujudkan langkah tersebut, Daendels menerapkan sistem kerja wajib
(kerja rodi).
Di samping kerja wajib, untuk memperoleh dana guna menghadapi Inggris,
Daendels melakukan beberapa cara, antara lain sebagai berikut.
- Melaksanakan contingenten stelsel, yaitu pajak yang harus dibayar oleh rakyat
dengan menyerahkan hasil bumi.
- Menetapkan verplichte leverentie, yaitu kewajiban menjual hasil bumi hanya
kepada pemerintah Belanda dengan harga yang telah ditetapkan.
- Melaksanakan preanger stelsel, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada rakyat
Priangan untuk menanam kopi.
- Menjual tanah-tanah negara kepada pihak swasta asing, seperti kepada Han Ti
Ko seorang pengusaha Cina.


3. Sistem Sewa Tanah (Lande Lijk Stelsel)
Dengan adanya Kapitulasi Tuntang, maka Indonesia jatuh ke tangan Inggris.
Inggris mengirimkan Thomas Stamford Raffles sebagai letnan gubernur di Indonesia.
Zaman pendudukan Inggris ini hanya berlangsung selama lima tahun, yaitu antara
tahun 1811 dan 1816, akan tetapi selama waktu ini telah diletakkan dasar-dasar
kebijaksanaan ekonomi yang sangat mempengaruhi sifat dan arah kebijaksanaan
pemerintah kolonial Belanda yang dalam tahun 1816 mengambil alih kembali
kekuasaan dari pemerintah kolonial Inggris.
Asas-asas pemerintahan sementara Inggris ini
ditentukan oleh Letnan Gubernur Raffles, yang sangat
dipengaruhi oleh pengalaman Inggris di India. Pada
hakekatnya, Raffles ingin menciptakan suatu sistem
ekonomi di Jawa yang bebas dari segala unsur paksaan yang
dahulu melekat pada sistem penyerahan paksa dan
pekerjaan rodi yang dijalankan oleh Kompeni Belanda,
dalam rangka kerja sama dengan raja-raja dan para bupati.
Secara konkrit Raffles ingin menghapus segala penyerahan
wajib dan pekerjaan rodi yang selama zaman VOC selalu
dibebankan kepada rakyat, khususnya para petani. Kepada
para petani ini Raffles ingin memberikan kepastian hukum
dan kebebasan berusaha.
Raffles juga ingin agar para petani dapat berdiri sendiri dan bebas menentukan
sendiri tanaman apa yang akan dikerjakan. Sebaiknya tanaman yang laku di pasaran
dunia, seperti tebu, kopi, nila dan sebagainya.
Dalam usahanya untuk menegakkan suatu kebijaksanaan kolonial yang baru,
Raffles ingin berpatokan pada tiga asas.
a. Segala bentuk dan jenis penyerahan wajib maupun pekerjaan rodi perlu
dihapuskan dan kebebasan penuh diberikan kepada rakyat untuk menentukan
jenis tanaman apa yang hendak ditanam tanpa unsur paksaan apapun juga.
b. Peranan para bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan sebagai
penggantinya mereka dijadikan bagian yang integral dari pemerintahan kolonial

dengan fungsi-fungsi pemerintahan yang sesuai dengan asas-asas pemerintahan
di negeri Barat. Secara konkrit hal ini berarti bahwa para bupati dan kepala
pemerintahan pada tingkat rendahan harus memusatkan perhatiannya kepada
proyek-proyek pekerjaan umum yang dapat meningkatkan kesejahteraan
penduduk.
c. Raffles beranggapan bahwa pemerintah kolonial adalah pemilik tanah, maka
para petani yang menggarap tanah dianggap sebagai penyewa (tenant) tanah
milik pemerintah. Untuk penyewaan tanah ini para petani diwajibkan membayar
sewa tanah (land-rent) atau pajak atas pemakaian tanah pemerintah. Sewa tanah
inilah selanjutnya yang dijadikan dasar kebijaksanaan ekonomi pemerintah
Inggris di bawah Raffles dan kemudian dari pemerintah Belanda sampai tahun
1830.
Di bidang pemerintahan, Raffles membagi pulau Jawa dan Madura menjadi 16
karesidenan yang dikepalai oleh seorang Residen dan dibantu asisten residen dari
Eropa. Para bupati dijadikan pegawai pemerintah dengan gaji setiap bulan.
Sistem sewa tanah tidak meliputi seluruh pulau Jawa. Misalnya, di daerah-daerah
sekitar Jakarta, pada waktu itu Batavia, maupun di daerah-daerah Parahiyangan
sistem sewa tanah tidak diadakan, karena daerah-daerah sekitar Jakarta pada
umumnya adalah milik swasta, sedangkan di daerah Parahiyangan pemerintah
kolonial berkeberatan untuk menghapus sistem tanam paksa kopi yang memberi
keuntungan besar.
Jelaslah kiranya, bahwa pemerintah kolonial tidak bersedia untuk menerapkan
asas-asas liberal secara konsisten jika hal ini mengandung kerugian material yang
besar. Mengingat bahwa Raffles hanya berkuasa untuk waktu yang singkat di Jawa,
yaitu lima tahun, dan mengingat pula terbatasnya pegawai-pegawai yang cukup
dan dana-dana keuangan, sulit menentukan besar kecilnya pajak bagi setiap pemilik
tanah, karena tidak semua rakyat mempunyai tanah yang sama, dan masyarakat
pedesaan belum mengenal sistem uang, maka tidak mengherankan bahwa Raffles
akhirnya tidak sanggup melaksanakan segala peraturan yang bertalian dengan sistem
sewa tanah itu.
Gagasan-gagasan Raffles mengenai kebijaksanaan ekonomi kolonial yang baru,
terutama yang bertalian dengan sewa tanah, telah sangat mempengaruhi pandangan
dari pejabat-pejabat pemerintahan Belanda yang dalam tahun 1816 mengambil alih
kembali kekuasaan politik atas pulau Jawa dari pemerintah Inggris.
Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa kebijakan Raffles pada umumnya
diteruskan oleh pemerintahan kolonial Belanda yang baru, pertama-tama di bawah
Komisaris Jenderal Elout, Buyskes, dan Van der Capellen (1816-1819), dan kemudian
di bawah Gubernur Jenderal Van der Capellen (1819-1826) dan Komisaris Jenderal
du Bus de Gisignies (1826-1830). Sistem sewa tanah baru dihapuskan dengan
kedatangan seorang Gubernur Jenderal yang baru, bernama Van den Bosch, pada
tahun 1830 yang kemudian menghidupkan kembali unsur-unsur paksaan dalam
penanaman tanaman dagangan dalam bentuk yang lebih keras dan efisien.


4. Sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel)
Kalian masih iingat, mengapa sistem penyerahan wajib dan sistem sewa tanah
tidak berhasil diterapkan di Indonesia? Kemudian kebijakan apa yang akan
diterapkan oleh pemerintah kolonial di Indonesia? Supaya lebih jelas baca materi
berikut ini!
Pada tahun 1830 terjadi perubahan. Ketika itu negeri Belanda sangat payah
keuangannya karena harus membiayai perang Diponegoro dan usaha mencegah
Belgia memisahkan diri. Johannes Van den Bosch, yang kemudian menjadi gubernur
jenderal mengajukan rencana untuk dapat meningkatkan produksi tanaman ekspor
di Indonesia. Hasilnya dijamin akan dapat menolong keuangan negeri Belanda. Sistem
ini dinamakan Cultuur Stelsel yang oleh bangsa Indonesia dinamakan Tanam Paksa.
Sistem tanam paksa itu mewajibkan petani di Jawa untuk menanami sawah
ladangnya dengan tanaman yang hasilnya laku dijual ke luar negeri. Tetapi pengaruh
sistem tanam paksa mempunyai akibat yang lebih luas dari pada cara penyerahan
wajib pada zaman kompeni dulu. Berlainan dengan sistem pajak tanah Raffles, maka
sistem tanam paksa Van den Bosch ini justru menyuruh rakyat untuk membayar
pajaknya dengan hasil tanaman. Hasil tanaman paksa itu dikirim ke negeri Belanda,
dan di sana dijual kepada penduduk Eropa dan Amerika.

Ketentuan-ketentuan pokok dari sistem tanam paksa tertera dalam Staatsblad
(Lembaran Negara) tahun 1834, No. 22 jadi beberapa tahun setelah sistem tanam paksa
mulai dijalankan di pulau Jawa. Ketentuan-ketentuan pokok itu bunyinya memang
bagus dan baik. Tetapi dalam pelaksanaannya, pada umumnya menyimpang jauh
dan banyak merugikan rakyat. Ketentuan-ketentuan itu, antara lain:
1. Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk agar mereka
menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman dagangan yang
dapat dijual di pasaran Eropa. Jadi jelas, rakyat akan menyerahkan tanahnya
dengan sukarela. Tanpa ada rasa ketakutan karena didesak dan ditekan. Tetapi
dalam kenyataannya tidak demikian. Dengan perantaran bupati dan kepala desa,
rakyat dipaksa menyerahkan sebagian tanahnya. Lagi pula pegawai pemerintah
Belanda langsung mengawasi dan ikut mengatur. Tiap pegawai akan mendapat
persen tertentu (cultuur procenten) kalau berhasil menyerahkan hasil tanaman
kepada pemerintah. Makin banyak setoran, makin banyak persennya. Akibatnya
para pegawai itu berlomba-lomba mengejar untung, dengan seringkali
melanggar ketentuan. Terjadilah banyak penyelewengan. Dalam menjalankan
tanam paksa itu.
2. Bagian dari tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini tidak
boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.
Bunyinya sudah jelas, hanya 20% tanah rakyat yang akan digunakan untuk
cultuur stelsel. Tetapi dalam praktik sungguh sulit untuk dilaksanakan. Tanah
petani itu kecil-kecil, seperlima bagiannya tentu akan lebih kecil lagi. Lagi pula
tempatnya berserak-serak. Padahal, pertanian untuk tebu, nila, kopi, tembakau,
dan teh, membutuhkan tanah pertanian yang luas. Karena itu pemerintah
mengambil jalan yang mudah. Tanah-tanah milik petani itu dipersatukan dan
diambil sebagian untuk tanam paksa. Tentu dipilih yang paling tepat untuk
tanaman ekspor, biasanya juga yang paling subur. Belum lagi adanya
penyelewengan, pegawai-pegawai pemerintah itu mengambil lebih dari
seperlima tanah penduduk. Kadang-kadang malah mencapai separoh bagiannya.
3. Pekerjaan yang diperlukan untuk
menanam tanaman cultuur stelsel itu
tidak boleh melebihi pekerjaan yang
diperlukan untuk menanam padi.
Maksud ketentuan di atas tentu baik,
yakni supaya petani tidak habis
waktunya untuk menggarap kebun
tanam paksanya dan masih cukup
waktu untuk menggarap tanahtanahnya
sendiri. Tetapi dalam
praktik, para petani itu dipaksa
mencurahkan lebih banyak
perhatian dan waktu serta tenaga
untuk tanam paksa, sehingga mereka
tidak sempat mengerjakan sawah

ladangnya. Pekerjaan yang paling berat dilakukan di perkebunan nila. Pernah
petani-petani di daerah Simpur, Jawa Barat, dipaksa bekerja selama tujuh bulan,
jauh dari desa dan kampung halamannya. Ketika mereka pulang, ternyata sawah
ladangnya terlantar.
4. Bagian dari tanah yang disediakan untuk cultuur stelsel, dibebaskan dari
pembayaran pajak. Ketentuan ini tentu masuk akal. Tetapi dalam kenyataannya,
tidak dihiraukan, petani seringkali masih harus membayar pajak tanah untuk
tanah yang dipakai tanam paksa. Buktinya, pajak-pajak tanah tidak makin
turun, tetapi malahan naik terus.
5. Tanaman hasil cultuur stelsel itu diserahkan kepada pemerintah. Jika harganya
lebih besar dari jumlah pajak tanah yang harus dibayarkan, maka selisihnya
dikembalikan kepada rakyat. Tetapi jangan harap bahwa ketentuan ini dipegang
teguh. Tentu para petani itu kebanyakan buta huruf. Mereka tidak mengetahui
duduk perkara yang sebenarnya. Lagi pula, para petani mempercayakan segala
sesuatunya kepada kepala desa dan bupati. Sedangkan di antara pegawai
pemerintah itu, banyak pula yang sampai hati mengelabuhi para petani dengan
akibatnya bahwa ketentuan itu tidak dapat dijalankan.
6. Panen tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan kepada pemerintah,
sedikit-sedikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau
ketekunan dari pihak rakyat, misalnya, bencana alam banjir, kekeringan, hama,
dan lain-lain. Ketentuan yang bagus itupun pernah dijalankan. Pegawai-pegawai
pemerintah Hindia Belanda seringkali melihat panen yang gagal sebagai
kesalahan petani. Jarang yang dapat melihat keadaan yang sebenarnya.
7. Penduduk desa mengerjakan tanah-tanah mereka di bawah pengawasan kepalakepala
mereka, sedangkan pegawai-pegawai Eropa hanya membatasi diri pada
pengawasan apakah membajak tanah, panen, dan pengangkutan tanamantanaman
berjalan dengan baik dan tepat pada waktunya.
Di antara jenis tanaman kultur yang diusahakan itu, tebu dan nila, adalah yang
terpenting. Tebu adalah bahan untuk gula, sedangkan nila bahan untuk mewarnai
kain. Pada bad ke -19 itu pengetahuan kimia tentang bahan pewarna kain belum
berkembang, karena itu nila dibutuhkan. Kemudian menyusul kopi, yang merupakan
bahan ekspor yang penting.
Selama tanam paksa, jenis tanaman yang memberi untung banyak ialah kopi
dan gula. Karena itu kepada kedua jenis tanaman itu pemerintah memberi perhatian
yang luar biasa. Tanah yang dipakai juga luas. Jumlah petani yang terlibat dalam
tanam paksa gula dan kopi adalah besar, laba yang diperoleh juga banyak.
Tanam paksa mencapai puncak perkembangannya sekitar tahun 1830-1840.
Pada waktu itu Negeri Belanda menikmati hasil tanam paksa yang tertinggi. Tetapi
sesudah tahun 1850, mulai terjadi pengendoran. Rakyat di negeri Belanda tidak
banyak mengetahui tentang tanam paksa di Indonesia. Maklumlah waktu itu
hubungan masih sulit, radio dan hubungan telekomunikasi belum ada, surat kabar
masih kurang. Tetapi sesudah tahun 1850 terjadi perubahan. Malapetaka di Cirebon,

Demak, dan Grobogan lambat laun sampai pula terdengar di negeri Belanda. Mereka
juga mendengar tentang sikap pegawai-pegawai Belanda yang sewenang-wenang.
Sementara itu pada tahun 1860 di negeri Belanda terbit
dua buah buku yang menentang tanam paksa sehingga semakin
besar kalangan masyarakat yang menghendaki agar tanam
paksa dihapus. Kedua buku itu ialah Max Havelaar yang
dikarang oleh Douwes Dekker dengan nama samaran
Multatuli. Buku kedua ialah Suiker Contracten (Kontrakkontrak
gula) ditulis oleh Frans van de Putte. Karena pendapat
umum yang membalik, sejak itu tanam paksa berangsurangsur
dihapuskan. Pada tahun 1860, tanam paksa lada
dihapuskan, pada tahun 1865 menyusul nila dan teh. Tahun
1870 boleh dikata semua tanam paksa sudah hapus, kecuali
kopi di daerah Priangan yang baru dihapuskan pada tahun
1917.









Kebijakan-Kebijakan Pemerintah Kolonial Terlengkap 9out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.

Terimakasih telah Berkunjung dan Semoga Bermanfaat..


Tetap Update dan Dukung Saya Berbagi dengan
⇧⇧⇧ klik Tombol LIKE DI ATAS ⇧⇧⇧
☺☺☺ TERIMAKASIH ☺☺☺

BACA JUGA !!!!

1 comment:

  1. informasi dalam blog ini sangat bermanfaat, isinya sangat inovatif dan kreatif. saya baru menemukan jawaban dari unek-unek yang selama ini membuat saya bingung. makasih ya informasinya!!

    ReplyDelete